PENGELOLAAN HUTAN YANG BERKELANJUTAN DI DUNIA YANG SEDANG BERUBAH

 

DON GILMOUR[1]

 

1.      Faktor-faktor penyebab perubahan-perubahan kebijakan belakangan ini

 

Fokus pada pembangunan berkelanjutan

 

Istilah “pembangunan berkelanjutan” sering dipahami secara berbeda-beda tergantung pada persepsi–persepsi dari kelompok berkepentingan yang berbeda. Sebagaimana digunakan dalam makalah ini, istilah ini menunjuk kepada definisi yang diberikan dalam “Caring for the Earth”:

  

  “ …….memperbaiki kualitas kehidupan manusia sambil hidup di dalam daya tampung dari ekosistem pendukung”

 

Ada tujuan yang jelas dalam defenisi ini, untuk secara eksplisit menyatukan baik kesejahteraan umat manusia maupun komponen-komponen biofisika yang sering termasuk dalam diskusi-diskusi tentang pembangunan berkelanjutan.

 

Yang berkuasa terhadap pengelolaan hutan telah menjawab fokus global pada pembangunan yang berkelanjutan dengan mencakupi sebuah perubahan penting dalam kebijakan hutan; dari kebijakan yang menekankan ketetapan berkelanjutan dari produk-produk yang dominan, terutama serabut kayu, kepada yang menekankan pengelolaan sebuah sistem sumber daya alam yang kompleks dan berharga, dengan menghasilkan campuran luas barang dan jasa.

 

 Globalisasi

 

 Globalisasi ekonomi dunia (khususnya pembukaan ekonomi-ekonomi nasional pada kekuatan-kekuatan pasar internasional) telah menciptakan perubahan keadaan ekonomi yang mengharuskan perubahan-perubahan pada urusan institusionil untuk pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan-kebijakan penyesuaian struktur dari Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia telah menjadi pengaruh utama yang mendorong perubahan-perubahan ini di negara-negara yang sedang berkembang dan negara-negara dengan ekonomi-ekonomi dalam transisi. Akan tetapi, keperluan yang sama sedang mempengaruhi negara-negara lain melalui pendorong yang berhubungan untuk rasionalisasi ekonomi.

 

Kebanyakan negara sedang menjalani proses-proses pembaharuan kebijakan dan ada beberapa tema yang bersamaan dalam arah proses-proses ini.  Pemerintah-pemerintah sedang memperkecil (mengurangi bentuk birokrasi mereka) dan mendesentralisaskan pembuatan keputusan atas pengelolaan hutan dari tingkat yang atas kepada tingkat yang rendah, dan (dalam banyak kasus) memindahkan tanggungjawab (dan kadang-kadang kekuasaan kepada berbagai elemen masyarakat sipil seperti NGO dan masyarakat lokal).

 

Hak-hak masyarakat pribumi dan lokal.

 

Di seluruh dunia ada pengakuan yang meningkat mengenai hak-hak orang-orang pribumi dan masyarakat lokal, berkenaan dengan keterlibatan mereka dalam pembuatan keputusan tentang pengelolaan sumber daya alam atas mana mereka melaksanakan hak tertentu.  Khususnya dalam situasi dimana masyarakat pribumi (dan yang lainnya) sedang hidup di dalam dan di sekitar hutan dan menggunakan sumber daya hutan untuk tujuan penyambung hidup atau untuk menghasilkan pendapatan tunai. Bekas tindakan pemerintah yang menasionalisasikan hutan sering kali mencabut hak dari orang-orang ini dan mengesampingkan mereka “di luar” hukum. Hak-hak masyarakat lokal yang pribumi (dan yang lainya) semakin diakui di dalam perdebatan-perdebatan kebijakan nasional.

 

 

2.      Jawaban-Jawaban yang Praktis Terhadap Perubahan Kebijakan Untuk Mencapai Pengelolaan Hutan yang berkelanjutan

 

Suatu akibat dari perubahan fokus kebijakan yang diuraikan diatas adalah bahwa pengelolaan menjadi lebih canggih (dan menantang) jika para manajer berusaha untuk mengimbangkan banyak tujuan, dan bekerja dengan banyak stakeholders’(orang/pihak yang berkepentingan).

 

Pengelolaan secara Bersama-sama

 

Selama beberapa dekade yang lalu, pemerintah-pemerintah di seluruh dunia telah mengadopsi berbagai bentuk dari pengelolaan bersama-sama atas sumber daya alam, dalam usaha untuk mengikutsertakan aneka stakeholders.  Di beberapa negeri pendekatan-pendekatan ini telah tersebar luas dan dimasukkan ke dalam kebijakan nasional dan diterjemahkan ke dalam program-program lapangan berskala besar.

 

Ungkapan “pengelolaan bersama-sama” menjadi semakin populer sebagai suatu deskripsi umum untuk jajaran pendekatan-pendekatan yang melibatkan semacam bentuk kerjasama di antara pemerintah dan stakeholders yang lain, khususnya kelompok-kelompok yang mata pencahariannya terjalin rapat dengan sumber daya alam.  Fisher (1995) telah menyarankan bahwa pendekatan-pendekatan bekerjasama terhadap pengelolaan sumber daya alam seharusnya memuat pengakuan pada :

 

-          keperluan untuk menyatupadukan pelindungan alam dan pembangunan

 

-          legitimasi  hak-hak dari orang-orang lokal untuk menjamin masa depan ekonomi mereka

 

-          Bergunanya mencari keterlibatan aktif dari orang lokal dalam rangka pemiliharaan dan pengelolaan lingkungan.

                                                                   

Pengelolaan bersama-sama  menunjuk kepada[2]

 

-          Urusan  pengelolaan yang dinegosiasikan oleh banyak stakeholders dan berdasarkan serangkaian hak dan hak istemewa (tenurial  arrangements (persetujuan akan hak atas tanah[3])  yang diakui oleh pemerintah dan diterima secara luas oleh para pengguna sumber daya alam; dan,

 

-          proses untuk membagi kekuasaan diantara para stakeholders untuk membuat keputusan dan menjalankan kontrol atas penggunaan sumber daya alam.

Jadi pengelolaan bersama-sama adalah sesuatu yang dilakukan oleh banyak stakeholders.  Sifat ini dengan sendirinya menunjukan perbedaan utama dari bentuk-bentuk pengelolaan yang lebih konvensional dimana satu pihak menjadi penanggunjawab satu-satunya atas pembuatan keputusan, dan stakeholders lain tinggal di pinggiran.

 

Biasanya pendekatan terhadap pengelolaan diikat dengan tenure (hak atas tanah) yang mendefinisikan ikatan dan alokasi hak dan hak istemewa untuk menggunakan sumber daya alam (Fisher 1995).

 

Pada umumnya, berbagai sistem ‘tenure’ dapat dikelompokan ke dalam empat kategori; tanah milik negara, milik pribadi, milik komunal, dan milik terbuka. Tentu saja, pengakuan pada ‘tenure’  tergantung pada siapa yang menuntut.  Negara boleh tidak mengakui beberapa hak pribadi atau hak komunal yang diterima oleh para pengguna sumber daya alam lokal dan sebaliknya pengguna-pengguna lokal boleh tidak menghargai beberapa tuntutan kepemilikan yang dibuat oleh negara melalui berbagai dewan pemerintahan. Sewaktu-waktu, tuntutan-tuntutan baru akan timbul atau yang lama akan dipertanyakan. Ketika ada persengketaan tentang hak dan hak istemewa pribadi, pengelolaan menjadi problematis karena akan ada kurang kepercayaan apakah keputusan-keputusan yang dibuat oleh tiap pihak akan disetuji atau diikuti.

 

Pengelolaan secara bersama-sama berarti bahwa pemerintah dan para pengguna sumber daya alam bersetuju tentang ‘tenure’ sehingga didirikan dasar kepercayaan dan legitimasi untuk penglelolaan.  Jika ketidaksetujuan terjadi, kerjasama berarti bahwa akan ada kesudian untuk menyelesaikan pertentangan dan upaya untuk menegosiasikan urusan ‘tenure’ yang dapat diterima. Ataukah secara aktif atau pasif , pemerintah biasanya hadir dalam semacam cara

dalam sistem pengelolaan bersama, bahkan jika ia terbatas pada mengizinkan alokasi hak dan hak istemewa untuk menggunakan dan mengelola sumber daya alam.

 

 

Referensi

 

Fisher, R.J. (1995) Collaborative management of forests for conservation and development. Issues in Forest Conservation. IUCN and WWF, Gland, Switzerland.



[1] IUCN and RECOFTC

 42 Mindarie Cres

  Wellington Point, Queensland 4160

  Australia

  Email: gilmour@redland.net.au       

 

[2] Definisi ini mengecualikan situasi di mana pengguna lokal mengelola sumber daya alam yang dituntut di bawah pemilikan-negara, tanpa izin lebih dulu dari pemerintah.  Sistem-sistem semacam ini, yang disebut sistem pengelolaan “asli atau tradisional”, seringkali berhasil dan melibatkan banyak kerjasama antara para pengguna.  Namun begitu, definisi yang dipakai di sini akan meliputi saja urusan bekerjasama yang dikesahkan dan dikuatkan oleh pengakuan dari pemerintah.  Patut ditekankan bahwa identifikasi sistem pengelolaan asli dan perkembangan kekuatannya merupakan langka kritis menuju pendirian sistem pengelolaan yang diizinkan oleh pemerintah.

[3] Tenurial arrangements tidak perlu formal – bisa ad hoc (khusus untuk s.s.t maksud) atau tacit (tahu sama tahu)